Tuesday, May 3, 2005

CSIG di Amerika: APARTEMEN KAMPOENG MELAJOE DI DAERAH DOWNTOWN WASHINGTON, DC

Aku tinggal di sebuah apartemen, sebut saja Apartemen Kampoeng Melajoe di daerah downtown Washington DC.

Istilah Apartemen Kampung Melayu populer ditahun 80an. Waktu itu hampir sebagian besar penghuninya orang – orang Indonesia. Kalau kita iseng menyusuri tiap lantainya, pasti segera tercium bau masakan khas Indonesia. Bawang goreng dalam kuah santan, bumbu rendang yang menggoda selera, atau sambal terasi yang menyengat hidung. Konon tetangga kamar yang bukan orang Indonesia protes keras bau tak sedap itu, katanya seperti bau bangkai.

Tinggal di apartemen bukanlah sebuah kemewahan di Amerika sini. Tidak seperti bayangan kawan – kawan atau saudara saya yang tinggal di kampung sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Mereka membayangkan aku hidup nyaman, mewah, dan tentunya berkantong tebal. Apalagi ketika mendengar ongkos sewanya yang mahal, USD1100 perbulan untuk tipe studio, atau USD 1450 untuk tipe 1 bedroom. Dalam bayangan mereka uang 8 – 12 jutaan rupiah perbulan bisa untuk mengangsur rumah yang cukup bagus di Indonesia.

Kalo boleh berkata jujur, uang USD 1100 bagiku cukup banyak untuk menyewa apartemen. Apalagi untuk kalangan perantau yang hanya bekerja di restoran seperti aku dan kebanyakan teman – teman di sini. Lokasi apartemen "Kampoeng - Melajoe" yang strategis, dekat daerah perkantoran, dan hanya 15 menit jalan kaki ke White House, harganya memang sudah setinggi langit. Bahkan teman kerja yang asli Amerika, Alex agak kaget ketika tahu aku tinggal di daerah elit yang tiap hari selalu dilewati iring – iringan polisi yang mengawal wapres Amerika.

Mungkin menurut Alex, seorang bergaji rendah tak akan mampu menyewa apartemen sekaligus memenuhi biaya hidup yang tinggi di pusat kota kosmopolitan seperti Washington, DC.

Mungkin dengan mengambil perbandingan sepadan, kita akan sama terkejutnya ketika tahu seorang tukang cuci piring di restoran Pecenongan tinggalnya di apartemen Kawasan Sudirman atau Kuningan.

Tapi keterkejutan Alex segera sirna ketika tahu bahwa aku tinggal berame – rame. Istilah kerennya “ sharing”. Cuma dalam kenyataan lebih tepat disebut “ngirit”. Kini Alex terbengong-bengong ketika tahu kami tinggal berenam di sebuah kamar studio yang sempit. Sewa kamar yang USD 1100 perbulan dibagi enam jatuhnya hampir 200an dollar. Amat murah kan?

Maaf-maaf saja aku kadang nggak tega menggambarkannya, atau menceritakan ini kepada teman-teman atau keluargaku di Indonesia. Ukuran kamar yang tak begitu luas,
kira – kira 6 x 4 meter, tapi ditempati 6 orang. Mungkin tempat itu lebih layak disebut barak pengungsian ketimbang apartemen. Salah satu teman kami, Rinto, selalu menyebut dengan istilah “ikan pindang” ketika melihat kita – kita sedang tidur berjajar.

Sedikit kalau boleh aku gambarkan, begitu kita masuk, dibalik pintu terdapat rak sepatu. Satu orang minimal punya dua sepatu dan satu sandal, jadi bisa dibayangkan jumlah sepatu yang menumpuk di balik pintu. Beberapa sepatu itu jarang dicuci, sehingga aroma kaki busuk kadang tercium memenuhi ruangan. Disebelah rak sepatu, ada sebuah komputer lawas Pentium 3 yang disediakan Bang Herdi si pemilik kamar, untuk keperluan browsing internet, nonton Tukul Arwana atau Bajaj Bajuri di Youtube.

Untuk menutupi pandangan dari luar, Bang Herdi memasang sekat sebuah meja dengan rak buku hampir menyentuh atap. Selain itu, hanya ada sebuah meja makan kecil mepet ke tembok beserta 3 kursi. Satu lagi, ada sebuah tv yang 'dapat nemu' di ruang laundry dan diletakkan di sudut dekat jendela. Sisanya ruangan dibiarkan kosong di tengah. Tata ruang seperti itu dipakai
untuk menampung ke enam orang biar bisa tidur berjajar.

Tinggal berame – rame bukannya tanpa resiko. Setiap hari selalu main kucing – kucingan dengan pihak management gedung. Batas yang diperbolehkan untuk tipe studio hanya dua orang. Ketahuan melanggar maka ancamannya adalah, peringatan pertama: nama – nama yang tidak ada di daftar harus keluar, atau perintah kedua: semuanya harus keluar. Hal ini sudah tercantum dalam pasal-pasal perjanjian sebelum kita mengontrak.

Tak sulit bagi mereka melakukannya, tinggal telpon lawyer, seminggu kemudian datang surat yang menyatakan bahwa kita melanggar kesepakatan yang telah ditentukan. Untuk mensiasatinya, kita hanya memasang dua kasur yang digelar lesehan di ruang tengah. Sisanya kita berempat tidur memakai matras tipis yang biasa untuk alas senam atau yoga. Bahkan saking sempitnya, satu kawan dari Madura bernama Arif memanfaatkan ruang closet di depan kamar mandi untuk tidur. Pagi hari, bangun tidur, kita mulai berbenah sehingga jika ada pemeriksaan kita bisa beralasan kalau empat kawan kita sedang bertamu. Siasat ini awalnya terasa berat dilakukan, tapi lama kelamaan menjadi terbiasa, bahkan sudah menjadi pola hidup kita.

Janu Jolang
Catatan Saku Imigran Gelap di Amerika

No comments:

 
Site Meter