Friday, March 1, 2013

MENEKUNI DUNIA PERCETAKAN


Selama di Jakarta aku tinggal di rumah paman, ia punya usaha percetakan kecil-kecilan di daerah Kali Baru. Karena tak ada pilihan lain maka aku membantu paman dengan bekerja di sana. Paman sering mendapat orderan cetak mulai dari kartu nama, kop surat, brosur, ataupun kartu undangan perkawinan. Semenjak kutinggalkan kuliahku di Jogja dan aku memutuskan tak ingin meneruskan lagi paman meminta aku untuk membantu mengurusi bisnis percetakannya. Aku diajari cara mengoperasikan komputer untuk mendisain berbagai macam orderan yang masuk, diajari mengerti ukuran dan jenis kertas, tinta cetak, sampai mengoperasikan mesin cetak. Disamping itu aku juga diajari cara menghitung biaya pokok produksi dan mengambil sedikit keuntungan dari order cetakan yang masuk. Aku menurut dan berusaha untuk bekerja dengan rajin, terus belajar, dan menikmati keseharian bekerja di percetakan. Paman rupanya menaruh harapan kepadaku suatu saat nanti aku bisa meneruskan usahanya.

Tak terasa bulan berganti dengan cepat. Usaha percetakan paman makin berkembang. Aku berusaha mengoptimalkan kerja mesin - mesin cetak satu warna milik paman dengan mencari order ke kantor - kantor pemerintah maupun swasta sepanjang Matraman - Mangga Dua. Pagi hari aku mulai berkeliling menawarkan jasa apa saja mulai dari alat tulis, sablon, bordir sampai cetakan keperluan kantor. Kalau aku dapat orderan sablon maka akan kulempar ke Bang Joni tetanggaku di Kali Baru, kalau aku dapat order bordir akan kulempar ke Mas Sari di Pramuka. 
Waktu berlalu aku mulai merasa bahwa dunia percetakan adalah tempat aku mendapatkan rejeki. Dari situ aku mulai bisa menghidupi diriku, membeli baju atau celana jeans kesukaanku, sepatu Kickers dan sedikit sisa untuk ditabung. Andai aku mendapatkan cetakan full color yang butuh separasi warna yang berarti mesin paman tak sanggup untuk mengerjakannya maka aku akan lari ke tempat Haji Uung. Dia punya mesin cetak Heidelberg yang mampu mencetak 4 warna dengan kecepatan tinggi.
Karena aku sering mendapatkan order buat Haji Uung maka atas kemurahan hatinya dia melempar sebagian ordernya ke tempat paman. Kamipun lantas sibuk mengerjakan pesanan Haji Uung hingga larut malam. Kami sering kekurangan karyawan terutama saat kami kebanjiran order. Aku lantas menyarankan paman untuk menambah karyawan lepas, dan rupanya paman menuruti saranku. Apalagi kini aku bisa mendapatkan order tetap dari temanku waktu kuliah di Jogja dulu - Hengki, ia kini bekerja pada distributor perlengkapan komputer di Mangga Dua. Mesin cetak kepunyaan paman jadi tak pernah menganggur. Brosur satu warna berisi daftar harga memori, vga card, hard disk, speaker, dan lain - lain dilempar ke aku. Juga kop surat, surat jalan, dan pernik alat tulis perkantoran.
Ibu yang mendengar kabar tentang perubahanku ikut senang. Rasa khawatir ketika aku memutuskan berhenti kuliah dan ngotot pergi ke Amerika sempat membuat ibu kalang kabut. Ibu marah karena aku sudah membuang uang dengan berhenti kuliah di tengah jalan. Juga ketika aku merengek minta uang yang tak sedikit untuk mengurus visa ke Amerika. Aku jadi merasa bersalah kepada ibu.
Ibu yang bekerja sebagai guru SMP tidaklah punya uang cukup, adik-adikku masih membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Semenjak ayah meninggal, ibulah satu-satunya tulang punggung keluarga. Dan kini aku telah bekerja, tak menjadi beban ibuku lagi. Aku sudah bisa mencukupi kebutuhan hidupku sendiri. Ibu kini konsentrasi membiayai adik-adikku, aku sesekali mengirimi uang untuk jajan adik-adikku. Sebagai anak tertua aku mulai merasakan sebuah tanggung jawab muncul dalam kesadaranku bahwa aku harus ikut memikirkan kelangsungan hidup mereka, demi masa depan adik-adikku. Semoga mereka punya semangat belajar tinggi tak gampang menyerah, bisa sekolah sampai tamat, dan mendapatkan pekerjaan yang mapan dikemudian hari. Jangan seperti kakak tertuamu.
Ya, aku sebagai anak tertua tak bisa menjadi contoh bagi adik-adikku. Aku merasa bersalah telah menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa meraih gelar kesarjanaanku. Menjadi yang pertama di keluargaku dan tentu itu sebuah kebanggaan keluarga. Harapan ibu agar kelak aku bisa menyandang gelar insinyur seperti si Doel Tukang Insinyur -- film tv yang digemari ibu -- tak bisa kuwujudkan. Sebetulnya aku tak mau mencari alasan kenapa aku memutuskan untuk berhenti kuliah. Aku juga tak menyalahkan dosen Matematika yang killer, Pak Mastur. Tapi dari dulu aku memang tak pernah beruntung dalam ilmu Matematika. Nilai Matematika I dan II yang selalu dapat E menjadikan aku patah semangat. Dengan dua semester tertunda setidaknya aku telah membuang waktuku satu tahun untuk mengulang kembali di tahun  berikutnya.
Barangkali juga aku kecewa karena Arini pergi meninggalkanku tanpa alasan yang jelas, ya ..cinta pertamaku sejak SMA telah kandas. Rasa kehilangan Arini sanggup membuat hidupku guncang. Semua kejadian begitu beruntun tatkala dua bulan kemudian Ayah meninggal. Duniaku seakan runtuh.
Waktu berlalu dan keinginanku pergi ke Amerika pelan-pelan meredup seiring dengan kesibukanku berkecimpung dalam dunia cetak mencetak.

No comments:

 
Site Meter