Tuesday, July 9, 2013

BERTEMU PERANTAU INDONESIA


Bulan Maret udara masih terasa dingin. Sisa-sisa salju masih tampak di atas pepohonan, juga melapisi tanah berbukit sepanjang jalan. Aku dan Hendro dijemput Mas Windi di China Town, Washington D.C. Kami melewati gapura berbentuk ornamen khas China yang melintang di jalan utama, juga kulihat di kanan kiri aksara China bertebaran dimana-mana, semua toko kebanyakan restoran menyajikan aneka khas makanan Chinese food.

Kami kemudian dibawa ke rumah single house-nya di daerah Wheaton, Maryland. Rumah tua di daerah sini kebanyakan berdinding setengah kayu dan setengah batu. Konon di musim dingin kayu-kayu itu bisa menyerap hawa dingin dan di musim panas batu-batu itu bisa mendinginkan hawa panas. Mas Windi tinggal bersama istrinya Siti Zubaidah yang bekerja sebagai perawat di panti jompo, mereka punya dua anak yang masih sekolah di SMP.
Mas Windi sendiri bekerja di jasa kurir sebagai pengantar barang, sedangkan malam hari ia bekerja sebagai pengantar koran. Ketika aku tak bisa tidur karena jam biologisku masih menyesuaikan dengan Indonesia yang siang hari, mas Windi iseng mengajak aku untuk menemani dia mengantar koran. Maka berbekal jaket tebal untuk menahan cuaca dingin di akhir Februari aku duduk di samping kanan kursi depan mobil van-nya. Kuperhatikan mas Windi dengan sigap meraih satu demi satu koran dari tumpukan, memasukkannya ke dalam kantong plastik dan melemparkannya ke halaman rumah pelanggan. Jendela mobil yang terbuka di sisi kiri kanan membuat badanku menggigil terkena suhu enol derajat Celcius. Entah sudah berapa ratus koran yang dilempar, mas Windi tak terlihat lelah dan kedinginan. Pekerjaan melempar koran yang dimulai sejak jam 3.00 pagi hingga selesai jam 5.00 pagi adalah pekerjaan berat yang butuh dedikasi tinggi. Ya karena disaat kebanyakan orang masih terlelap dalam kamar berpenghangat yang nyaman, mas Windi sudah membanting tulang dalam dinginnya malam.
Di basemen rumah yang disekat menjadi empat ruangan kecil tinggal anak-anak Indonesia yang kos di sana. Aku berkenalan dengan kakak beradik Marcel dan Marco perantau asal Jakarta yang bekerja sebagai Waiter atau Pelayan di restoran Pan Asia di downtown Washington DC. Dari mereka aku mendapatkan gambaran bahwa bekerja sebagai Waiter dibutuhkan kepandaian berbahasa Inggris, harus ramah, dan pandai melayani pelanggan. Seorang pelayan juga harus mengerti semua jenis makanan yang dijual di restoran, mengetahui bumbu-bumbu apa saja yang dipakai serta bagaimana cara memasaknya. Marcel menyebut dengan fasih berbagai makanan yang dijual di restoran tempat ia bekerja seperti Pad Thai, Tom Yum, Lime Chicken, Mongolian Beef, Bento Box, dan aku sama sekali awam dengan itu. Marco juga menambahkan bahwa pelayan restoran di Amerika jauh berbeda dengan di Indonesia. Terutama masalah penghasilan, pelayan restoran punya penghasilan tinggi dari tips yang diberikan pelanggan atas jasa pelayanannya. Di siang hari saat pengunjung menyerbu restoran untuk makan siang, Marco bisa mendapatkan tip 100 dollar diluar gajinya. Pada malam hari jumlah yang sama bisa didapatkan Marco dari para pelanggan yang menghabiskan malam dengan rekan kerja, pacar, atau partner bisnis. Sungguh cerita Marcel dan Marco menjadikan aku seperti orang bodoh karena tak tahu apa-apa. Tapi setidaknya aku jadi mengerti hal-hal baru, menambah pengetahuanku untuk bekal hidup di Amerika.
Di akhir pekan mbak Ratna, Aas dan Jaenah yang bekerja Live In sebagai Nanny pulang ke kos-kosan. Selama lima hari seminggu mereka bekerja dan menginap di rumah majikannya keluarga Arab yang kaya raya. Selain pekerjaan utama merawat bayi, mereka juga memasak, mencuci baju, dan membersihkan rumah. Kedatangan mereka di kos-kosan menjadikan suasana akhir pekan tambah ramai. Celoteh mereka tentang berbagai hal lucu yang dialami, atau cerita sedih teman-teman sesama perantau, apalagi ketika tahu mereka sibuk memasak nasi Kebuli kambing untuk makan siang. Dan itu terus berlanjut hingga sore hari ketika kami kedatangan tamu sesama nanny.
Mbak Siti Zubaidah istri mas Windi yang dulu seorang nanny ternyata adalah figur tuan rumah yang pandai melayani tamunya. Ia ramah, hangat, dan pandai bercerita. Mereka berkumpul di ruang tengah, bercengkerama sambil mendengarkan lagu dari Amr Diab, Habibi ya Nour El Ain. Beberapa nanny tak kuat mendengar petikan gitar Andalusia dan hentakan Tabla bercampur Cempring lantas mereka mengajakku menari ala tari perut padang pasir dalam iringan gemulai Akordion dan syair berbahasa Arab. 
Ya, lewat perkenalan dengan merekalah aku bisa mengetahui lebih dekat dunia para perantau di Amerika Serikat. Mereka yang telah bertahun-tahun hidup jauh dari keluarga, mereka yang kesepian, mereka yang tabah dengan berbagai cobaan, menandakan mereka adalah pribadi yang tak mudah menyerah oleh kerasnya kehidupan. Hal itu menjadi sebuah inspirasi bagiku untuk bisa bertahan hidup, tetap semangat, dan tak gampang menyerah di Amerika.   
Malam telah larut, dinginnya basemen terasa menyengat kulitku, aku menggigil. Tak lupa kusempatkan telpon paman memakai "calling card" bahwa aku telah berada di Amerika dengan selamat. Dari nada suaranya paman terdengar gembira walau aku tahu masih ada kekecewaan di hatinya.

No comments:

 
Site Meter