Tuesday, February 3, 2009

Cerpen: Mengais Rezeki

(oleh: Janu Jolang)
Terbit di Kompas Cyber Media, Sabtu, 31 Januari 2009
http://oase.kompas.com/read/xml/2009/01/31/06174410/mengais.rezeki


Jakarta, November 2002
Sudah satu tahun lebih aku kehilangan kabar dari Ahmad Sanusi, suamiku. Aku tak tahu di mana ia berada. Sejak empat tahun lalu, ia merantau ke Amerika. Awalnya, ia dapat informasi bahwa ada lowongan kerja di Amerika dengan bayaran besar. Sejak itu dalam benaknya hanya ada satu tujuan, bagaimana cara ia bisa ke sana. Maklum, bekerja di Amerika – katanya – menjanjikan masa depan yang cerah.

Ia berangkat beberapa bulan setelah meletus peristiwa berdarah Mei 98. Waktu itu situasi politik Indonesia kacau balau. Perekonomian diambang kebangkrutan. Harga – harga semakin tinggi. Kami kesulitan mencukupi kebutuhan hidup sehari – hari. Maklum suamiku hanyalah guru kontrak di salah satu Sekolah Menengah di Jakarta, tugasnya mengajar ilmu – ilmu sosial.

Aku ingat saat ia bercerita kepadaku, ketika menerangkan tentang perpindahan penduduk, migrasi, transmigrasi, dan emigrasi, di depan murid – muridnya. Tak pernah terlintas dalam pikiran suamiku untuk melakukan hal itu. Profesi guru katanya pengabdian, turut mencerdaskan bangsa, mulia sifatnya. Ia cukup bangga dengan prinsip itu. Tapi akhirnya ia gadaikan juga prinsip itu demi alasan ekonomi.

Ya, alasan ekonomi. Aku ingat suamiku sering berkeluh kesah padaku, pada rekan sejawat, atau pada pak de-nya. Sesungguhnya suamiku tidak menuntut berlebih dalam hal materi. Maklum, jadi guru bukanlah jalan untuk meraih kekayaan. Cukuplah dari gaji yang dihasilkan bisa menutup kebutuhan sehari – hari atau sesekali bila ada lebih untuk ditabung. Tapi nyataannya gaji suamiku tak cukup. Pertengahan bulan kami selalu kehabisan uang, lantas kalang kabut cari pinjaman untuk menutupi kebutuhan sisa bulan berjalan. Barangkali hal itu disebabkan upah terlalu rendah. Ataukah harga – harga yang terlalu tinggi? Hidup melulu tekor, alias rugi, alias besar pasak daripada tiang. Kami sekeluarga tidak tahu kondisi seperti itu dinamakan apa: kemiskinan, kurang mampu, atau kurang makmur. Yang kami tahu, hidup terasa penuh tekanan, penderitaan, dikejar hutang, dan tanpa pengharapan.

Akhirnya ia merantau ke Amerika, katanya negeri kaya raya, tanah pengharapan, tanah segala macam ras dan kaum imigran berburu rezeki. Negeri yang dalam waktu kurang dari 250 tahun menyulap dirinya menjadi mercu suar dunia. Tapi bukannya sontak nasib keluarga kami berubah, bukan pula ia lantas mendapat pekerjaan yang layak, melainkan dengan kerja, dan bekerja keras.

Kini aku tak tahu di mana suamiku berada. Ia tak pernah lagi menulis surat, mengabari lewat telepon, bahkan mengirimi uang. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah di sana ia kecantol gadis lain dan melupakan anak istrinya? Atau ia mendapat musibah? Sepertinya ia hilang ditelan bumi. Hanya surat – surat ini yang tertinggal:

Surat pertama ditulis 15 Desember 1998,
Rahmi, kini aku tahu bagaimana rasanya bekerja sebagai tukang cuci piring, di restoran asia bernama Bamboo Buffet, di daerah pinggiran, Ashburn, Virginia. Restorannya ramai. Banyak kantor – kantor di sini, pelanggannya kebanyakan pegawai dari MCI, dan juga AOL. Jangan ditertawakan ya, jauh – jauh ke Amerika hanya jadi tukang cuci piring, pekerjaan yang tak pernah kubayangkan sama sekali dalam benakku.

Awalnya, kupikir pekerjaan itu enteng, apa susahnya mencuci piring. Bukankah aku sering membantumu waktu di rumah? Apalagi di sini pakai mesin, pasti lebih cepat. Ketika hari pertama kujalani, ternyata tak semudah yang kubayangkan. Sungguh aku nyaris putus asa, Mi. Berbagai kotoran: piring, gelas, panci, wajan, garpu, pisau berdatangan tak ada habisnya bak mesin pabrik mengeluarkan isinya untuk dirampungkan. Belum selesai satu kranjang, telah menunggu bertumpuk kranjang lain penuh piring kotor. Secepat tanganku menaruh piring di mesin, secepat itu pula pelayan membawa lagi piring – piring kotor. Aku kewalahan, capai, mau muntah, sekaligus jengkel. Ya, jengkel pada pelanggan yang tak ada habisnya, jengkel pada tumpukan piring kotor, jengkel pada orang – orang dapur, jengkel pada diriku sendiri, jengkel pada profesi tukang cuci piring.

Sampai akhirnya Mr. Kong pemilik restoran turut membantu. Sepertinya bos-ku baik, Mi, mau menolong biarpun sudah juragan. Kalau di Indonesia mana mau juragan seperti itu, pasti mereka gengsi. Ia sudah 60 an tahun, termasuk pendiam, atau karena bahasa Inggrisnya tak lancar, sering perintahnya hanya sepotong – sepotong. Bahkan ia lebih sering menggunakan bahasa Spanish karena kebanyakan pekerja restoran di Amerika orang – orang dari Amerika Tengah.

Hari kedua aku bekerja, otot – otot lengan dan telapak tanganku bengkak, kaku, dan susah digerakkan. Barangkali kemarin aku mencuci selama sepuluh jam. Atau karena aku tak pernah bekerja seberat itu sebelumnya. “Rapido - rapido”, cepat, cepat, seperti itu Mr. Kong berteriak menyuruhku bekerja lebih sigap.

“ Muchos platos, Ahmad! Hayyaa”, banyak piring, nadanya tampak marah.
Aku diam saja, kukerjakan lebih cepat (menurut perkiraanku), tapi ia kelihatan tak sabar dan akhirnya turut membantuku. Demikian keadaanku, Mi. Ternyata hidup di Amerika tak seindah yang digambarkan oleh film – film Hollywood.

Malamnya setelah restoran tutup aku dipanggil Juan Carlos, si Chef restoran, lantas diajak menemui Mr. Kong yang sudah menunggu di ruang kerjanya. Aku mengerti, ini pasti karena kerjaku yang kurang cepat. Mr. Kong tidak puas. Kukemukakan alasanku, memang aku tak pernah bekerja mencuci piring sebelumnya, apalagi baru sepuluh hari tiba di Amerika.

Tampaknya Mr. Kong kecewa, entah padaku – atau barangkali pada si Chan, agen penyalur tenaga kerja di China Town – New York. Ia yang menjamin dan mengirimku ke Ashburn sini. Sejenak suasana lengang, aku diam, wajahku tegang. Tak lama berselang si Chef bicara dalam Spanish pada Mr. Kong dengan mimik serius, dan kutahu kemudian bahwa Mr. Kong memutuskan untuk cari dish washer lain yang sudah berpengalaman. Aku dipecat
Betapa kerasnya hidup di Amerika, Mi. Bahkan untuk pekerjaan rendahan seperti tukang cuci piringpun harus bersaing ketat, terutama dari orang – orang Honduras, Salvador, atau Mexico, yang rata – rata memang kuat, gesit, cepat, walau mereka tak berbahasa Inggris. Biar tukang cuci piring, istilah kerennya kudu profesional. Kalau tidak, mudah saja mencari penggantinya. Alih alih masa training, ternyata mereka tak mau rugi. Barangkali demikian cara berpikir mereka, Mi, pragmatis. Toleransi diukur dengan uang. Apakah itu salah satu wajah dari dunia modern? Aku harus banyak belajar untuk beradaptasi.

Keesokan paginya aku diantar Mr. Kong menuju terminal bis untuk dipulangkan. Diberikannya gajiku selama dua hari, 120 US dollar. Tujuanku New York, kembali ke agen Chan, minta pekerjaan lain. Di dalam bis aku diam terpaku, salju turun perlahan. Angin sesekali berhembus kencang menggetarkan badan bis. Kulihat kijang terkapar di pinggir jalan, mungkin tertabrak kendaraan yang lalu lalang. Galau perasaan menyekap tubuh, uangku menipis. Aku harus cari pekerjaan. Aku harus bisa bertahan hidup di sini, harus gigih. Dan kini kumengerti, Mi, ternyata uang dan waktu adalah segalanya di sini, atau barangkali pondasi kehidupan mereka.
Time is money , ya aku ingat kata – kata itu di Indonesia hanya sekedar lips service, atau paling banter untuk istilah orang-orang mencari obyekan diluar jam kantor. Tapi di Amerika, waktu sangatlah berharga. Barangkali aku harus merubah cara berpikirku, waktu adalah uang. Rezeki tidak dibagikan secara gratis. Kata orang sini, bapak – bapak pendiri negeri ini, kemerdekaan individu berarti tiap orang harus mandiri secara finansial. Dengan begitu mereka bebas menentukan pilihan hidupnya. Mereka tidak diperbolehkan meminta belas kasihan negara. Harga yang harus ditebus untuk kebebasan itu, tiap orang harus bersaing dengan ketat dan bekerja keras.

Surat ke dua ditulis beberapa hari kemudian:
Rahmi, sudah seminggu semenjak dari restorannya Mr. Kong, aku menunggu di penampungan kumuh daerah China Town New York. Musim salju sangat dingin, sekujur tubuku gatal – gatal. Aku hanya diam di ruko bersama beberapa orang cina daratan yang juga sedang menunggu beroleh pekerjaan. Sehari dikutip 8 dollar untuk sewa tempat tidur model tingkat, suasananya seperti barak pengungsi. Aku tak tahu mereka bercakap dalam Mandarin atau Kanton, tapi kelihatannya seru, persis dalam film – film silat. Mereka statusnya sama dengan aku, kaum pendatang. Barangkali di Cina mereka tak kebagian rezeki, kaum miskin persis seperti kita.

Rahmi, duitku makin menipis, semoga tak lama lagi aku segera mendapat pekerjaan. Kemarin ada kabar dari agen Chan kalau ada lowongan pekerjaan di Maryland. Doakan aku cepat bekerja. Bagaimana kabar Indonesia? Kelihatannya makin memburuk ya? Kangenku untukmu dan anak – anak.

Surat ke tiga ditulis satu bulan kemudian, tertanggal 15 Januari 1999:
Rahmi, seperti yang dijanjikan agen Chan akhirnya aku bekerja di restoran lagi, namanya Asian Noodle di Bethesda, Maryland. Pemiliknya orang Korea, Mr. Chun, berusia 45an tahun. Kini pekerjaanku kitchen helper, tugasku memotong sayuran, memotong daging, meracik bumbu-bumbu, dan menanak nasi. Selain itu aku juga ditugasi mengatur stok di kamar pendingin.

Semestinya pekerjaan itu dibayar 7.5 dollar sejam, tapi berhubung aku dilihatnya belum berpengalaman, hanya dibayar 5.5 dollar. Aku tak protes, daripada tak ada penghasilan. Lagipula aku butuh uang untuk segera mencicil hutang, untuk kebutuhanmu dan anak-anak, juga kebutuhanku di sini. Biarpun pekerjaan ini berat, tapi aku bisa menjalaninya.

O ya, juru masak restoran ini orang Indonesia namanya Junianto dari Banyuwangi. Ia tinggal di Amerika sudah 10 tahun, masih membujang, sepertinya sudah makmur. Mobilnya Mustang sport dua pintu, punya rumah di German Town, punya kartu kredit Discover, Amex, punya anggota klub kebugaran, punya komputer beserta perangkat internet, punya cellphone keluaran terakhir, dan pergi ke klub di akhir pekan. Demikian gaya hidupnya, khas Amerika. Di sini, status manusia dalam lingkungan sosial sering dinilai dari berapa banyak dia punya (kaya). Sedangkan aku, tak bisa kubayangkan apakah itu jadi impianku juga? Atau hanya fatamorgana saja. Sepertinya jarak sosial untuk meraih itu terlalu panjang. Yang kubutuhkan sekarang hanyalah uang, dan uang. Apakah suaraku terdengar materialistis?

Surat ke empat ditulis satu bulan kemudian, pendek saja:
Rahmi, Apakah uang kirimanku telah sampai? Jika sudah, sisihkan 1500 US dollar untuk cicilan hutangku (untuk berangkat ke Amerika) ke pak De Harmin. Sisanya yang 1000 US dollar, belanjakanlah untuk kebutuhanmu dan anak-anak. Jika ada sisa uang sebaiknya ditabung.

Surat ke lima ditulis empat bulan kemudian, Juni 1999:
Rahmi, sudah enam bulan kita berpisah. Akhir – akhir ini yang memenuhi benakku hanyalah kamu dan anak – anakku. Tak jarang aku kehilangan konsentrasi dan gairah bekerja, dan tiba – tiba aku sudah dalam lamunan. Pernah tanganku tergores pisau saat merajang wortel, pernah pula aku lupa menaruh tamarind sauce ke dalam bumbu Pad Thai, lain waktu aku lupa mengangkat rebusan lomein noodle dari atas kompor. Apakah ini salah satu gejala home sick?

Dulu waktu kudengar cerita dik Narti tentang celana dalam, aku hampir tak percaya. Ya, waktu suami dik Narti tengah study di Kanada. Dan minta dikirimi cawat istrinya yang telah dipakai. Aku menganggap permintaan mas Imam mengada – ada. Setelah enam bulan aku di sini, baru aku bisa mengerti. Aku kangen baumu, Mi. Bau tubuhmu dari rambut sampai kaki.

Bagaimana kabar Faisal dan Nurul? Apakah mereka merindukan ayahnya? Aku ingat sikap Nurul dua minggu sebelum keberangkatanku ke Amerika. Ia jadi pendiam dan murung. Ia tidak bisa menerima penjelasanku. Ia sepertinya menjauh dariku, tak mau lagi dekat denganku. Aku sedih melihat perubahan itu. Tolong Nurul diberi pengertian, ayahnya pergi ke Amerika bukannya pesiar, bukan pula tak sayang lagi padanya. Tapi ayahnya pergi untuk cari uang, untuk beli bonekanya Nurul, untuk beli buku gambar dan krayonnya Nurul, untuk beli popok adik Faisal, dan susu bayi adik.

Belilah handphone Mi, agar kita bisa berbicara, aku kangen suaramu yang merdu, juga ceriwisnya anak – anak. Apakah Faisal sudah mulai berjalan? Atau masih di tetah?

Surat ke enam ditulis enam bulan kemudian, Desember 1999:
Rahmi, satu tahun di sini aku sudah mulai bisa beradaptasi. Mengenai makan, aku masih bisa mendapatkan nasi putih tiap hari. Di sini malah berasnya bagus, putih dan pulen. Mengenai lauk pauk dan sayurannya, aku biasa belanja di Asia market. Bahkan untuk trasi udang aku mudah mendapatkannya.

Mengenai keseharianku di sini, praktis waktuku habis hanya di tempat kerja. Jam 11 malam aku baru sampai di apartemen, mandi, trus langsung tidur. Paling kalau pas hari libur dan badan nggak lelah, aku pergi jalan – jalan entah itu ke lapangan Mall, musium Smithsonian, Lincoln Memorial, atau bangunan bersejarah lainnya.


Rahmi, setelah satu tahun di sini aku merasa lega karena hutangku ke pak De Harmin telah lunas. Bebanku juga makin ringan ketika membaca suratmu bahwa kalian tidak kekurangan uang lagi tiap bulannya. Aku sudah bosan dengan kemiskinan, bosan menganggap hidup layak adalah sebuah kemewahan. Kini ada semangat dalam diriku untuk menata masa depan. Masa depan keluarga kita. Belum pernah aku merasa hidup seindah ini, walau tentunya merasa sedih harus berpisah denganmu dan anak – anak.Tapi itu hanya sementara. Nanti kalau duit yang kukumpulkan sudah cukup, aku akan pulang ke Indonesia. Kita bikin usaha kecil – kecilan, atau kita coba membesarkan usaha pakaian muslim yang telah kamu rintis. Bukankah hidup layak sudah sewajarnya bagi setiap manusia? Dimanapun ia berpijak di atas bumi ini.

Surat ke tujuh ditulis enam bulan kemudian, Juni 2000:
Rahmi, kini posisiku naik jadi asisten juru masak. Pekerjaanku sekarang bikin order masakan grilled, saute dan fried. Aku banyak belajar dari Junianto cara memasak daging untuk chicken teriyaki, grilled salmon, shrimp tempura, bulgogi, lamb skewer, lime chicken, dan masih banyak lagi jenis masakan yang aku tidak tahu sebelumnya. Nanti kalau aku pulang, aku akan memasak untukmu dan anak – anak.

Mi, sudah satu setengah tahun aku bekerja di sini alhamdullilah keadaan ekonomi kita semakin membaik. Keberanianku untuk memandang masa depan keluarga kita kian timbul. Aku juga senang mendengar usaha baju muslim-mu kian maju. Bagaimana orderannya? Ramai? Bukankah tetangga kita sekarang banyak yang memakai baju muslim? Memang kini baju muslim sudah umum dipakai, barangkali sudah jadi trend mode atau memang karena panggilan jiwa. Coba itu barang duapuluh tahun yang lalu, usahamu tak bakalan seramai sekarang.


Surat ke delapan ditulis tujuh bulan kemudian, Januari 2001:
Rahmi, ada yang mau kuceritakan, tentang sesuatu yang akhir – akhir ini kurasakan. Bukan sesuatu yang mengganggu tapi cukup jadi beban pikiranku. Awalnya ini tentang pekerjaanku. Aku bekerja sehari 12 jam, seminggu 6 hari. Waktu libur hanya sehari dan itu kugunakan untuk tidur untuk memulihkan tenaga buat keesokan hari. Sedangkan dalam setahun hanya ada libur resmi dari restoran pada hari Natal dan Thanksgiving. Pekerjaan itu, rutinitas yang kujalani selama dua tahun ini, lama kelamaan kurasakan sebagai beban tersendiri. Aku seperti mesin, seperti robot dalam pabrik yang hidupnya hanya untuk bekerja dan bekerja. Barangkali kalau kamu dan anak – anak ada di sini, aku tak akan merasakan beban seberat itu.

Kadang aku mencoba menguranginya dengan mencari teman, nonton tv, atau jalan – jalan, tapi hal itu tak banyak membantu. Aku merasa asing dengan hidupku, dengan lingkunganku, bahkan dengan diriku sendiri. Rasanya aku seperti hidup dalam alam mimpi yang kesemuanya membisu, asing, kosong, dan senyap. Ada sesuatu yang hilang dalam batinku. Barangkali “Time is Money” telah merasuk dalam pikiran bawah sadarku, atau mungkin memang kehidupan orang – orang di sini selalu dikejar waktu, dibatasi waktu, dan terperangkap oleh waktu.


Itulah surat - surat yang dikirim suamiku kepadaku. Kabar terakhir ia bekerja di sebuah kafetaria milik orang Itali, di tempat wisata daerah Washington DC. Kami sempat berhubungan lewat telepon, terakhir tanggal 10 September 2001. Kini setahun telah lewat, tak ada tanda – tanda dimana suamiku berada. Telah kuhubungi hp-nya tapi tak aktif lagi. Aku bingung hendak mengadu kemana. Adakah yang bisa membantu?


The Mall, Washington, DC. 11 September 2001

Hari cerah, sinar matahari menebarkan kehangatan pagi hari, rerumputan masih basah oleh embun. Lapangan sepanjang satu setengah kilometer itu belum ramai. Di ujung sebelah kiri, kulihat Gedung Kapitol mengeliat angker seperti raksasa baru bangun tidur. Sedangkan di kejauhan sebelah kanan, kulihat rombongan turis sedang mengantri masuk ke Monumen Washington untuk menikmati panorama kota Washington DC di ketinggian.

Kafetaria tempatku bekerja strategis letaknya, di pinggir lapangan, dinaungi rerimbunan pohon tua, dengan beberapa patio yang diatur rapi, dan berseberangan dengan salah satu musium Smithsonian. Aku bergegas menyiapkan kopi Colombia pada coffe machine, sebentar lagi kafetaria akan buka. Roti bagel, bun, sub, white bread sudah kuletakkan ditempatnya. Burger, hotdog, pastrami, tuna sandwich, corned beef telah kusiapkan dalam etalase pendingin. Sudah enam bulan rutinitas ini kujalani semenjak aku dipecat dari restoran Asian Noodle karena aku berkelahi dengan majikanku.
Pemilik kafetaria ini, Mr. Lombardo, imigran asal Itali generasi kedua, mempekerjakanku dengan bayaran 8 dollar sejam. Untuk ukuran itu, aku merasa Mr. Lombardo lebih manusiawi daripada majikan - majikanku terdahulu. Selain itu, aku melihat Mr. Lombardo adalah pribadi penuh perhatian, kental sifat kebapakan, tidak pelit, dan sepertinya tulus. Aku merasa senang bekerja di tempat ini, juga kepada Mr. Lombardo.

Jam menunjukkan pukul 9:00 pagi. Kulihat seorang pegawai musium Smithsonian datang dan memesan kopi. Smith nama pemuda kulit hitam itu, pelanggan setia kafetaria ini, menceritakan sesuatu kepadaku dengan berapi-api. Katanya ia baru saja melihat tayangan TV yang memberitakan bahwa sebuah pesawat jet baru saja menghantam gedung World Trade Center di New York. Aku setengah tak percaya, Smith seperti biasa, suka membual. Bahkan kini Smith berani bertaruh 50 dollar. Aku kemudian menuju mini compo memutar frekwensi radio untuk memastikan kebenaran cerita itu.
Kudapatkan channel berita, dan kudengarkan liputan dengan seksama. Kulihat sekilas Mr. Lombardo asik menghitung stok minuman kaleng. Ia tak memperhatikan apa yang sedang kami ributkan. Ia sudah paham kalau Smith datang suasana kafetaria pasti hingar bingar.

Tak beberapa lama perasaanku tercekam: bukan saja North Tower yang dihantam, sekarang gedung kembarnya South Tower juga dihantam pesawat jet. Mr. Lombardo yang kini berada di sebelahku mendadak sesak nafas, terkejut mendengar berita itu. Wajahnya pucat pasi. “Ini serangan teroris..”, suaranya tersekat di kerongkongan.
Diraihnya cepat – cepat telpon genggam dari meja kasir, Mr. Lombardo mondar – mandir gelisah, ia berusaha menelpon seseorang. Kulihat wajahnya berubah cemas, sorot matanya meratap. Tak ada jawaban dari orang yang diteleponnya. Dalam kegalauannya, Mr. Lombardo menggumam dalam bahasa Itali. Barangkali sebaris doa, atau ungkapan kecemasan. Ia mencoba menelpon lagi, tetapi tak ada nada jawab.

Kembali ke radio, reporter melaporkan dengan berapi-api seolah pendengar sedang melihat kejadian mencekam itu dengan mata kepala sendiri. Sungguh mengerikan, sesekali suara reporter itu menghela napas karena dahsyatnya kejadian itu. Aku miris mendengar beberapa orang telah meloncat dari gedung pencakar langit entah untuk menyelamatkan diri atau bunuh diri. Beberapa orang terlihat di jendela melambai – lambaikan tangan dengan putus asa berharap pertolongan. Aku tak tega membayangkan bagaimana rasanya jika berada di dalam gedung itu, ketika mengetahui kematian sudah di depan mata, dan merasakan detik – detik mencekam dimana malaikat pencabut nyawa akan datang menghampiri, dengan beribu cara yang mengerikan. Semenjak tragedi Pearl Harbour, baru kali ini Amerika diserang musuh.

Kulihat sekeliling lapangan Mall tampak normal, wajah – wajah pejalan kaki kalem seperti tak terjadi apa – apa. Barangkali mereka tak mendengar kejadian itu. Tiba-tiba kudengar suara menggelegar seperti ledakan bom di sekitar lapangan Mall. Getarannya terasa pada dinding kafetaria. Kami bertiga di kafetaria tersentak kaget. Kulihat asap hitam mengepul di angkasa di belakang Washington Monument. Orang – orang disekitar juga tampak kaget, beberapa mengira ada pesawat jatuh di bandara Ronald Reagen.
Jam 9: 58 gedung South Tower ambruk karena tak mampu menyangga beban disebabkan konstruksi meleleh. “Ya Tuhan, tidak mungkin”, seru Mr. Lombardo, ia terduduk lemas seakan darah menghilang dari kakinya. Kulihat tubuhnya limbung tak bertenaga. Aku segera meraih pundaknya dan membimbingnya duduk di kursi. Kudengar Mr. Lombardo berteriak parau menyebut nama John. Ya, John anak semata wayangnya. John yang bekerja sebagai manajer di salah satu restoran di gedung WTC itu ikut terkubur bersama reruntuhan South Tower. Aku ikut prihatin atas kejadian itu. Kudengar kemudian Mr. Lombardo meracau tak sanggup membayangkan anaknya jatuh dari gedung setinggi 1,362 feet dan hilang dalam timbunan puing – puing bangunan. Keseimbangan batinnya tergoncang hebat, kulihat air mata meleleh di atas pipinya, matanya sembab. Aku memberikan segelas air putih tapi ditolaknya.

Mr. Lombardo segera menyuruhku menutup kafetarianya. Aku lantas mematikan wajan penggorengan, mematikan toaster, memasukkan daging dan sayuran ke dalam kulkas, setelah itu membereskan coffe machine. Tak lama kudengar raungan sirine polisi, pemadam kebakaran dan ambulan bersahutan. Ini pasti karena ledakan keras tadi.
“ Hurry - hurry up, Ahmad “, seru Mr. Lombardo cemas. Aku panik, dalam benakku timbul bermacam bayangan menakutkan, barangkali itu bom nuklir, bom kuman, atau pesawat yang menghujam sekitar Washington, DC.

Tak berselang lama kudengar berita di radio, gedung North Tower ambruk. Bersamaan itu dikabarkan Pentagon juga kena hantam pesawat. Kemungkinan selanjutnya serangan ke Gedung Putih dan Gedung Kapitol. Ini dekat dengan tempatku bekerja. Tak lama kemudian kudengar pesawat tempur F-16 membelah angkasa dengan suara yang memekakkan telinga. Hal yang buruk sedang terjadi jika melihat pesawat itu melintas di atas area Kapitol. Di kejauhan dekat monumen Washington, kulihat petugas polisi memblok jalan dan menyerukan kepada setiap orang untuk meninggalkan lapangan Mall, rasa - rasanya seperti terjebak dalam medan pertempuran. Aku beralih melihat wajah Mr. Lombardo, tatapan matanya kosong. Tak bisa dipungkiri hatinya remuk redam karena kehilangan anak satu-satunya. Aku menawarkan diri untuk menemaninya, tapi ditolaknya. Setelah mengunci kafetaria, kami berdua akhirnya berpisah. Smith sudah kabur entah kemana.

Aku berjalan menyusuri jalan Pennsylvania Avenue. Nafasku memburu, kedua bahuku rasanya naik turun dengan cepat. Semakin lama jalan dipadati oleh orang – orang yang keluar dari gedung – gedung perkantoran. Jalan – jalan menjadi lautan manusia. Rupanya berita penyerangan Pentagon telah menyebar dengan cepat. Raungan sirine polisi, pemadam kebakaran, dan ambulan kudengar di semua penjuru kota. Suasana bertambah mencekam. Aku perhatikan wajah-wajah orang yang berpapasan dan melintas di depanku. Serabutan. Sebagian tampak takut dan sedih. Beberapa kulihat kalem dan rileks berjalan mengikuti arus besar manusia itu. Aku tak berani menilai apa yang ada dalam benak mereka masing – masing. Bahkan diantara lautan manusia itu ada yang tertawa cekikikan.

Aku teringat keadaan yang mirip, yang pernah kualami waktu peristiwa Mei 98 lalu. Setelah kota Jakarta dilumpuhkan oleh amok massa ribuan orang, setelah mereka puas menjarahi toko – toko, merampoki apartemen, membakari mobil, memperkosa wanita, dan beberapa membantai korbanya secara kejam. Aku mengikuti arus besar manusia menjauhi kerusuhan. Aku berjalan kaki di terik matahari sejauh puluhan kilometer. Dibenakku terbersit sebuah gambaran akan masa depan yang suram. Masa depan bangsaku, juga kekhawatiranku akan masa depan keluargaku. Perasaan serupa itu kini muncul kembali dalam waktu dan tempat berbeda. Aku khawatir sesuatu akan menghadangku dikemudian hari, sesuatu yang suram bagi masa depanku di Amerika.

Tiga tahun sudah aku mengais rezeki. Disaat setitik harapan telah tumbuh mengatasi kemiskinanku, disaat aku berharap akan menuai hasil dari keringat di tanah baru ini. Semuanya tiba – tiba musnah bak ditelan gelombang lautan. Aku khawatir kalau orang – orang Amerika marah setelah kejadian mencekam ini. Bagaimana jika Mr. Lombardo, orang yang telah bersikap baik padaku, tiba tiba berubah membenciku, mendendamku, hanya karena ejaan namaku, barangkali pula agamaku, yang menyebabkan anaknya tewas dalam tragedi itu. Atau tangan – tangan kekuasaan berusaha menggiringku menuju jeruji besi, tanpa pandang bulu, tanpa belas kasihan. Aku tidak tahu.

Alexandria, Virginia Desember 2002
Pagi itu pelataran penjara tertutup salju tebal akibat badai semalam. Angin masih berhembus kencang menebarkan hawa dingin bercampur butiran salju. Sederetan pohon maple di pinggir jalan meringkuk kedinginan tanpa daun. Ahmad tergeletak tak berdaya merenungi hari – harinya di balik terali besi. Tatapan matanya meredup tanda tiada lagi pengharapan dalam dirinya. Hatinya kini kosong, tak nampak gelegak magma yang menggelora memompakan semangat hidupnya.

Ahmad tidak tahu sudah berapa kali dipindahkan, sepertinya penjara terakhir yang ditempatinya ini berada di Joseandria, Virginia. Ahmad juga tidak tahu kenapa ditanyakan tentang sejumlah daftar nama – nama yang khas untuk dikenalinya. Ia tidak tahu pasti apa kesalahannya, barangkali akibat dari tragedi penyerangan gedung WTC dan Pentagon.

Memang perburuan dan pengejaran kemudian dilakukan terhadap kaum pendatang. Kaum pendatang yang diduga sebagai pelaku – pelakunya, juga kaum pendatang yang datang ke Amerika karena alasan ekonomi. Tanpa pandang bulu. Kesalahan Ahmad tiga hal: ijin tinggalnya habis, tidak punya ijin bekerja, dan pemakaian identitas atau nomer social security palsu. Hal yang biasa dilakukan para pendatang gelap di Amerika. Pupus sudah harapan Ahmad mengais rezeki di Amerika.
Ia lantas teringat anak istrinya di Indonesia, “Sedang apa mereka malam – malam di sana?” Tidak pernah Ahmad merasa serindu ini sebelumnya. “Jangan kau tahu keadaanku di sini Rahmi, Nurul, dan Faisal. Penopang hidupmu kini mendekam di penjara.”

Entah sampai kapan ia berada di penjara, Ahmad hanya bisa pasrah akan nasibnya. Disebelah kamarnya, terdengar seseorang menyenandungkan lirih lagu Illegal Aliennya Phill Collins, “It's no fun being an illegal alien, …It's no fun being an illegal alien, …...”, dan ia seorang pendatang gelap di Amerika.


(Washington, DC 2005)

1 comment:

Mr.Mandingo said...

Bagaimana ending dari petualangan hidup anda sekarang ?.Aku cuma ingin mbandingkan nasibmu dan aku yang similar pada waktu itu.Gracias. !

 
Site Meter