Wednesday, July 2, 2008

CSIG di Amerika: MAKAN DUREN DI AMERIKA

Duren adalah buah yang sangat populer di Indonesia, banyak orang suka. Bila musim duren tiba, udara serasa penuh aroma duren. Entah itu di bis umum, di rumah-rumah, di pinggir jalan, atau di Super Market. Semua bau duren. Musim Duren menawarkan sebuah kegembiraan tersendiri, mulai dari memilih duren yang bagus, menawar harga, dan menyantap duren yang rasanya manis bercampur sedikit pahit. Sungguh duren meninggalkan rasa mantap di mulut, juga di perut.

Berbeda dengan di Amerika, duren di sini tidaklah populer. Tidak banyak orang tahu kecuali hanya imigran asal Asia. Malam tadi Ekki pulang dari Asian Market membawa tiga geluntung duren besar-besar, duren Montong asli Thailand. Duren ini memang besar, baunya wangi. Tapi rasanya tidak manis dan sudah mulai berair. Maklum di Amerika kita tak bakalan mendapatkan buah duren yang matang di pohon. Semuanya telah lewat proses impor yang memakan waktu panjang dan masuk gudang pendingin.

Walau tak seenak duren Indonesia, kami tetap melahapnya sampai habis. Sedikitnya – ini bisa mengobati kerinduan dan mengingatkan saat-saat musim duren tiba.

Kira-kira 15 menit setelah pesta duren usai - ada suara orang mengetuk pintu. Kami terkejut ketika mengetahui ada 4 atau 5 petugas Pemadam Kebakaran telah berdiri di depan pintu lengkap dengan peralatan 'tempurnya'. Salah satu petugas menjelaskan kalau Ia dapat laporan ada kebocoran gas dari kamar kita. Ia menanyakan apakah mencium bau aneh, seperti pipa gas bocor.

Lantas Kami mengendus-enduskan hidung seolah mempertajam indera penciuman. Kamipun serempak menjawab”TIDAK”. Tapi salah satu dari mereka mencium bau aneh dari kamar kita.

Dan tanpa ba-bi-bu lagi mereka langsung menuju dapur sambil mengeluarkan alat pendeteksi kebocoran gas. Satu orang lagi merunut pipa gas dari kamar mandi pakai detektor. Kami sekamar hanya terbengong-bengong campur was-was. Bau duren yang menyengat mungkin dikira gas bocor oleh tetangga.

5 sampai 10 menit kemudian petugas Pemadam Kebakaran pasrah tidak menemukan sumber kebocoran. Mereka hanya menyarankan jendela dibuka lebar-lebar supaya (kalo ada kebocoran gas) kita tidak mati lemas. Atau menghindari percikan api yang bisa menimbulkan kebakaran.

Setelah pergi, kami merasa lega. Cepat-cepat Bang Herdi membuang kulit duren ke tempat sampah.

Untuk selanjutnya, kita harus berhati-hati kalau mau makan duren. Orang di sini tak tahan bau duren yang menyengat. Mereka mengira itu bau gas 'butane' dan beberapa mengira bau comberan.

Sunday, June 22, 2008

CSIG di Amerika: APARTEMEN ZULKIFLI DIGREBEK PETUGAS - EMPAT ORANG PENGHUNINYA DIANGKUT.

Berita penangkapan itu menyebar cepat di kalangan anak-anak Indonesia. Kami semua merasa was-was. Kabarnya mereka mencari seorang bernama Hendri, anak Indonesia yang datang ke Amerika memakai visa F1 alias Student Visa tapi tidak mendaftar ulang di sekolahan alias kabur.

Modus ini dulu aman-aman saja tapi setelah peristiwa 911 aturan diperketat. Pihak sekolahan langsung melaporkan ketidakhadiran si calon pelajar kepada Homeland Security Department. Mereka kemudian menindaklanjuti dengan melacak keberadaan si pelajar.

Alih-alih sekolah, Si Hendri malah bekerja di Deli jadi tukang bikin sandwich. Egg and Cheese on Bagel, Pastrami on Rye, Steak and Cheese on Sub, Rueben, Tuna Sandwich, Chicken Club, BLT – jadi urusannya sehari-hari. Dan memang bekerja itulah tujuan para pendatang, ada gula ada semut, bekerja untuk mendapatkan dollar. Dari cerita beberapa temannya, Hendri baru 1 tahunan masuk Amerika. Jadi kalau dihitung – hitung secara matematika (hitungan para perantau), modal yang dikeluarkan untuk berangkat ke Amerika belum impas alias tekor. Kami hanya bisa menghela nafas.

Dari kesemua penghuni apartemen yang terletak di dekat Union Station, Hendri, Zulkifli, Karim, dan Madi – semua diangkut petugas. Sudah menjadi resiko kalau satu orang ketangkap, yang lainnya dipastikan ikut terangkut. Dan biasanya hanya sedikit yang dilepaskan kembali kecuali mereka punya surat-surat lengkap atau minimal sedang mengurus status keimigrasian tertentu. Sebagai perantau sekaligus pendatang gelap, barangkali suatu saat itu bisa juga menimpa kami.

Saturday, June 14, 2008

CSIG di Amerika: TERNYATA BANYAK JUGA ORANG MISKIN DI AMERIKA

Amerika yang dalam bayanganku dulu (waktu masih tinggal di Indonesia) adalah sebuah negara Adidaya, maju, makmur dan kaya - ternyata masih juga menyisakan sebuah permasalahan sosial yang rumit. Seperti Washington, DC. – ibukota Amerika dimana aku tinggal, ternyata dari data Biro Sensus U.S. tahun 2005 menyebutkan: 1 dari 5 orang penduduk Washington DC hidup dibawah garis kemiskinan. Persentase 19.1% atau sejumlah 104.000 orang itu menduduki peringkat ke 3 secara nasional dalam hal jumlah orang miskin. Sangat ironis jika melihat ibukota negara Super Power ini banyak dihuni orang-orang miskin dan gelandangan.

Pada tahun 2006, sejumlah 9369 orang di Washington, DC. tidak punya tempat tinggal atau dengan sebutan kerennya para 'homeless'. Kebanyakan dari mereka hidup menggelandang dan tidur di emperan toko atau di taman-kota. Taman Lafayette di depan White House, taman samping Gedung Keuangan, atau di taman Dupont Circle banyak kulihat gelandangan tidur-tiduran dan menghabiskan waktunya di sana. Hal yang paling menyedihkan jika musim dingin tiba. Berhubung shelter atau tempat penampungan bagi homeless jumlahnya terbatas, maka banyak dari mereka ditolak dengan alasan penuh. Para homeless itu terpaksa bertahan di luar membungkusi tubuhnya dengan selimut flanel, plastik, atau kertas koran. Kadang terdengar kabar gelandangan ditemukan mati kedinginan di bawah suhu -13 derajat celcius di emper toko, atau di taman kota. Ketika ditemukan, tubuhnya telah beku dengan ekspresi wajah menahan dingin.

Aku lantas teringat salah satu gelandangan muda berkulit putih yang biasa 'nongol' di belakang restoran tempatku bekerja. Ia suka mengaduk-aduk tempat sampah, memilah-milah mana yang bisa dimakan, dan langsung melahapnya. Bau busuk tempat sampah tak dihiraukan, Ia asyik mengisi perutnya yang kelaparan. Melihat caranya makan, aku merasa jijik. Tapi dalam hati, aku kasihan -- si gelandangan itu tak mampu membeli makanan. Bukankah Ia masih muda lagi berbadan tegap? Kenapa ia tidak bekerja saja? Kalau dipikir-pikir, status dia yang warga negara Amerika lebih menguntungkan dibandingkan aku yang imigran gelap. Segala gerak-gerikku yang terbatas kuakui menyulitkan diriku. Aku tak punya ijin bekerja, tak punya ijin tinggal di Amerika lagi, dan menggunakan bahasa Inggrispun masih gagap. Bisa saja suatu hari aku ketangkap petugas Imigrasi, masuk penjara, dan dideportasi. Atau yang paling menyedihkan jika tidak ada lagi restoran yang mau mempekerjakan pendatang gelap yang tidak punya surat-surat lengkap. Hanya dengan modal nekat dan bekerja keraslah aku berusaha untuk 'survive'.

Barangkali si gelandangan muda itu punya problem mental, kecanduan obat dan alkohol, atau memang sudah tidak punya semangat hidup lagi. Mungkin gelandangan itu salah satu diantara 1891 orang di Ibukota ini yang terdaftar sebagai homeless kronis. Status menggelandang lebih dari satu tahun atau setidaknya punya catatan sebagai homeless 4 kali selama 3 tahun terakhir.

Monday, May 5, 2008

CSIG di Amerika: HEAD SUSHI CHEF DI RESTORAN TIPE ORANG YANG SERIUS.

Namanya Mr. Chow - orang Taiwan, berhubung kerja di restoran Jepang dipanggil dengan sebutan terhormat Chow-san atau kadang dipanggil Seinsei, yang dalam bahasa Jepang berarti master atau guru. Chow-san pandai berbahasa Jepang karena dia pernah tinggal dan bekerja di restoran China di kota Tokyo. Potongannya jangkung, tubuhnya kurus, kalau bicara mulutnya meledak-ledak. Kadang saking tak terkontrol sampai - sampai ludah 'muncrat' dari sela-sela giginya. Ada kesepakatan antara Aku dan anak-anak Malaysia untuk menyebut si Chow ini dengan sebutan Si Kurus. Ini untuk menghindari kecurigaan kalau kita sedang "ngrumpiin" dia.

Si Kurus adalah tipe orang yang serius. Barangkali didikan orangtuanya yang keras sehingga membuat si Kurus sering melihat sesuatu hal yang sepele jadi bertele-tele. Sudut pandangnya selalu serius. Kalau si Marcus Yap anak Malaysia bilang, si Kurus ingin berperilaku dan bertindak sempurna dalam segala hal, “Dia mau 'face' bagus. Apa .. dia cakap always betol”. Saking seriusnya, kadang ia berkomentar terlalu pedas di telinga kita.

Tadi malam, si boss (kadang) minta kita untuk membuatkan sushi “to go” (sebelum restoran tutup) untuk ibunya di rumah. Setelah sushi dibuat dan kita mulai beres-beres, datang seorang wanita muda mencari si boss. Si boss ini sudah menikah tapi rumah tangganya berantakan. Mereka sudah pisah rumah dan sedang dalam proses perceraian. Konon kabarnya, penyebabnya adalah Jane, salah satu pelanggan restoran. Maklum si boss ini memang pandai bergaul, ramah, suka humor, dan bisa menyenangkan hati wanita. Kini mereka asik ngobrol bahkan kulihat sangat mesra.

Keesokan harinya, sushi dalam kotak plastik itu masih tergeletak di meja dapur alias tidak dibawa pulang si boss. Melihat hal itu si Kurus tersulut emosinya. Aku cuma berkomentar maklum sambil bercanda, “ Barangkali si boss tidak pulang semalam, lupa pada ibunya karena ada wanita cantik yang harus diurus...”.

Tak kuduga, si Kurus menanggapi ini dengan serius. Kata-katanya sungguh keras, “ Selama 45 tahun aku hidup, belum pernah kutemui seorang laki-laki tidak mempedulikan ibunya, sangat egois, punya 'mental problem', dan bla bla bla bla....”.

Sambil terus 'nyerocos', Mr Chow menarik sudut bibirnya ke atas yang kira-kira menyiratkan bahasa tubuh mencibir. Giliran si boss datang di siang hari, kulihat mereka bercakap akrab dalam bahasa Mandarin. Seolah lupa apa yang tadi dia ucapkan, si Kurus terlihat antusias, penuh rasa hormat, manggut-manggut dan setuju dengan apa yang semua boss ucapkan.

Tuesday, April 8, 2008

CSIG di Amerika: KENAPA IBU REPOT – REPOT KIRIM BUKU DARI INDONESIA

Malam ini sepulang kerja aku mendapati ada bungkusan di atas meja. Setelah kubaca ternyata paket kiriman dari Indonesia. Ya, aku minta dikirimi rokok sama ibu. Maklum, rokok Indonesia amat jarang di sini. Jikapun ada, biasanya berharga mahal. Ada sebuah toko kecil dekat apartemen yang menjual beberapa rokok Indonesia dengan harga USD 8 perbungkus. Bayangin di Indonesia sebungkus hanya 10 ribuan rupiah. Ditambah ongkos kirim sekitar Rp. 800.000, aku bisa mendapatkan 2 karton rokok dan bisa menghemat 50 sampai 70an dollar.

Kubuka bungkusan dengan segera, Bang Herdi yang sedang di depan laptop ngelirik. Dia juga perokok berat. Dari lirikan matanya seolah Bang Herdi mengatakan, “bisa di join, nih”. Dan ketika kukeluarkan rokok itu dari bungkusnya, terselip sebuah buku kecil. Dalam hati aku bertanya,”apa yang ibu kirimkan untukku?”

Kubaca sepintas buku itu berjudul Sholat dan Faedahnya. Dalam pikiranku kenapa ibu masih sempat – sempatnya kirim buku seperti itu. Bukankah mengenai sholat telah aku pelajari sejak kecil? Barangkali beliau khawatir aku terlibat dalam pergaulan bebas, narkoba, atau kriminal – seperti gambaran kebanyakan film – film hollywood yang ada di tv – tv Indonesia.

Sejenak kemudian hatiku merasa kosong. Seperti ada sesuatu yang hilang di lubuk hatiku yang terdalam. Ibu benar ia berusaha mengingatkanku. Sepertinya Tuhan telah menjauh dari keseharianku. Yang kupikirkan hanya bekerja dan bekerja. Waktuku habis untuk bekerja.

Rasanya aku seperti mengejar sesuatu yang hampa, kosong; tapi jika aku tak berlari aku akan terlindas sesuatu, semuanya serba terburu-buru. Suasana khidmat dan khusyu yang muncul secara alami di Indonesia amat susah kurasakan di sini. Semua serba nyata. Aku serasa dikejar – kejar waktu, diperas tenagaku, demi imbalan dollar. Aku mimpi kerja santai bayaran gede, tapi tak ada. Terus terang kuakui jiwaku mengalami kekosongan. Semangat spiritual dalam berTuhan menurun jauh atau lebih buruk lagi “hilang” sama sekali.

Wednesday, January 16, 2008

TAKUT KOMITMEN

Riska mencuil pitta bread lalu mengoleskan pada hummus dan kemudian mengunyah dengan lembut. Sam, pasangan bulenya asik memperhatikan sambil mencecap apple martini Keduanya tengah menghabiskan akhir pekan di sebuah restoran Amerika yang menyajikan pertunjukan singing servers di daerah Dupont Circle. Riska dan Sam berbeda warna kulit dan kebangsaan, tapi keduanya terlihat amat serasi malam itu.

Bagi Sam, Riska adalah pengalaman pertamanya menjalin cinta dengan wanita Asia. Tadinya ia mengira Riska adalah orang Thailand, Kamboja, atau Vietnam karena paras Riska seperti yang terekam dalam film perangnya Sylvester Stallone.. Tetapi setelah Riska mengatakan asal Indonesia, Sam harus membuka ulang buku geografi dunianya untuk lebih mengetahui posisi Indonesia, sejarah, kebudayaan, dan manusia yang menghuninya.
Sudah satu tahun hubungan percintaan mereka berjalan. Riska tak memungkiri bahwa Sam seorang lelaki bule ganteng, tinggi, romantis, dan sangat berbeda dengan laki – laki Indonesia yang pernah menjadi pacarnya. Bersama Sam, ia seperti tak ada jarak, sederajat, dan tidak diatur harus ini itu. Semua mengalir begitu saja tanpa kekangan tapi justru tenggang rasalah yang lebih menonjol dalam hubungan mereka.
Bagi Sam, sebetulnya telah lama dalam hatinya memendam hasrat untuk lebih mengenal wanita Asia, menjalin cinta dengan salah satunya. Barangkali karena dia lelaki tulen yang masih muda, baru 28 tahun, dan ketika ia memandang postur wanita Asia yang berbeda dari wanita – wanita lain yang pernah singgah di hatinya -- baik bule Amerika, Eropa Timur, kulit hitam, atau mamasita Dominica. Rasa penasaran itu lain dari yang pernah ia rasakan ketika jaman masih SMA atau awal – awal di college, rasa penasaran yang didorong keinginan untuk pamer pada kawan – kawannya – bahwa ia sudah meniduri wanita sejumlah jari tangannya. Rasa penasaran itu kini tidak butuh sorak sorai teman – temannya. Bukankah mengenal wanita dari segala penjuru dunia adalah satu cara juga untuk mengenal peradaban dan budaya mereka? Ya, alam telah memberikan sari kehidupan yang berbeda untuk tumbuh dan kembang masing – masing wanita itu. Riska tumbuh dari tanah Jawa yang konon terkenal keluwesannya, kelembutannya, dan keeksotisannya. “Hidup hanya sekali, maka nikmatilah sepuas – puasnya”, pikirnya dalam hati.
Dan kenyataannya ia memang jatuh cinta pada Riska. Riska sempurna. Mata Riska yang tak terlalu sipit dan tulang hidung mungil tapi bangir, dengan kulit kuning langsat, dan tubuh mungil berisi, dinilainya perpaduan  antara ras Asia dan Hispanic, barangkali wajahnya lebih mirip wanita Polynesia. Dan benarlah apa yang pernah dikatakan temannya bahwa wanita Asia “kecil – kecil cabe rawit”, little spicy. Bersama Riska, ia merasakan sengatnya, selalu bergairah, membuat lidahnya selalu menari – nari kepedasan, tetapi selalu membangkitkan selera lagi. Lagi dan lagi….
Pelayan restoran membawakan hidangan utama pesanan mereka dan menaruhnya di meja, fillet mignon dan rib eye steak. Kemudian pelayan wanita bernama Megan pamit menuju panggung ditengah antara bar dan restoran untuk menyanyikan lagu New York State of Mind -nya Billy Joel diiringi denting piano lembut dari Steve pianisnya. Malam itu restoran dipenuhi pengunjung, sebagian menunggu di bar, dan yang lainnya antri di pintu masuk.
Riska, ...I have a little surprise for you. Guess what?”, wajah Sam jenaka menyembunyikan sesuatu.
“ Apa?”, tanya Riska. “ Did you buy me something?
 “ No, no, no “, jawab Sam masih dengan muka jenaka.“ Trus apa?”, tanya Riska memaksa.
“ Aku sudah dapat apartemen baru, di daerah downtown sini. One bedroom, kamu pindah ya dari apartemenmu? Kita hidup bersama.”
Riska tak bisa menyembunyikan kegembiraannya,“ Tapi Sam, aku nggak bisa buru – buru. Aku harus bilang room mate- ku dulu, Kathy bisa marah kalau tiba – tiba kutinggal.”
“ Apapun terserah, sementara kau masih di sana, kau bisa tidur di apartemen baruku. Tiap hari malah lebih baik.” “ Dasar anak nakal ”, kerling Riska manja. Ya, untuk urusan yang satu itu, ia merasa melayang – layang dibuatnya.
“ Sam, aku juga punya kejutan buat kamu.” Sejenak Riska diam, dan itu dilihat Sam seolah Riska bercanda. Sam makin penasaran.
“ Aku nggak dapat masa periodeku, Sam. Mungkin aku hamil”
Bagai disambar petir wajah Sam berubah tegang, kata-katanya tiba-tiba seperti orang tersedak makanan. Ia tak bisa menyembunyikan kecemasannya. Wajah jenakanya hilang seketika. “ Apakah kamu yakin?”
“ Ya, aku sudah tes kemarin, aku hamil… surprise!!”
Kini Sam malah diam saja. Ia benar – benar terkejut atas berita itu. Bukankah Riska selalu meminum obatnya? Atau jangan – jangan dia lupa. “ Kamu kelihatan sedih mendengarnya Sam?” “ Oh tidak, tidak. Aku gembira kau hamil Riska “
“ Kau bohong Sam” “ Aku bahagia Riska, betul.”
“ Kamu nggak menghendaki bayi ini Sam?” “ Ooo jangan berpikiran seperti itu Riska. Aku bahagia mendengar kamu hamil, cuma rasanya kok terlalu cepat bagiku. Aku surprise …” Sesungguhnya ia belum siap. Sam takut jadi orang tua. Sam takut tidak bisa menjadi orang tua yang baik bagi anaknya.
“ Sam, lantas bagaimana?” “ Sudah kita nikmati makan malam ini. Lihat sweetie, daging rib eye ini, oogh rasanya juicy banget. Kamu harus mencobanya …” Sam memanggil pelayan, dia memesan Jack and Coke double, sepertinya ia ingin menenggelamkan galau hatinya pada gelas alkohol itu.
***
Malam itu Riska memilih pulang ke apartemen. Biasanya akhir pekan selalu dihabiskan untuk bermesraan hingga pagi, entah di kamar apartemennya atau di tempatnya Sam. Kali ini ia sedang tidak berhasrat, ia ingin sendiri, memikirkan dan merenung kembali apa yang telah terjadi, dan apa yang akan diperbuat nanti. Akankah kehamilanku ini kukabarkan pada papa dan mama di Indonesia?
Ia kemudian membayangkan wajah marah ayahnya. Seorang Raden Wiryoatmodjo yang menjabat Dirjen sebuah departemen prestise di Indonesia itu pasti akan malu mendengar anaknya hamil diluar nikah, “ Muka papa akan ditaruh mana? Di depan Menteri, Dirjen – dirjen lain, dan kolega – kolega papa? Belum pada keluarga besar Wiryoatmodjo. Kamu disekolahkan jauh – jauh biar pintar, ini malah bikin bubrah pasar.... Sopo jenenge bocah londo iku? Dia harus sembodo, harus bertanggung jawab.
Riska makin bertambah bingung membayangkan ayahnya yang marah. Ketika tadi ia katakan kehamilannya kepada Sam, dan Sam hanya tenang – tenang saja, mungkinkah dia mau bertanggung jawab? Kini disadarinya ada jarak yang lebar antara dirinya dan Sam. Jarak lebar dalam mengartikan sebuah makna tanggung jawab. Bagi keluarga besar Wiryoatmodjo tanggung jawab berarti: menikah secepatnya. Menutupi aib keluarga, untuk menyelamatkan kewibawaan dan kehormatan keluarga. Tapi bagi Sam yang orang bule, tanggung jawab tidak selalu berarti pernikahan. Di Barat, pasangan tidak menikah boleh punya anak. Dan sepertinya mereka tak peduli dan asik – asik saja dengan status yang disandangnya. Bahkan masyarakat sekitar juga tak peduli. Dan kalau jalan itu yang dipilih Sam sebagai bentuk tanggung jawab, tentu ayahnya akan mencak – mencak tak karuan sambil berkata,” Londo kucluk. Londo edan.”
“Akankah kehamilanku ini kukabarkan pada papa dan mama di Indonesia? Kenapa harus kukabarkan?” Terbersit rasa malu dalam dirinya. “Aku yang mengaku wanita modern, yang telah bertahun – tahun tinggal di Amerika, yang telah nyaman dengan nilai – nilai kebebasan individu, yang dengan sadar memilih pergaulan bebas, kini merasa tak berdaya dan harus berpaling pada orang tuaku hanya karena kehamilanku.” Nyatanya Riska tidak siap mental jika ia kemudian kehilangan kasih sayang orang tuannya dan dukungan keuangannya.
Pernikahan adalah solusi terbaiknya. Ya, ia harus utarakan ini pada Sam. Ia tak ingin melukai perasaan orang tuanya lebih dalam lagi, ia tak mau durhaka terhadap mereka. Orang tuanya sudah begitu baik, perhatian dan sayang kepadanya. Berita kehamilan dirinya tentu akan membuat pecah kepala orang tuanya. Tapi, kenapa reaksi Sam tidak seperti yang dibayangkannya? “ Ya Riska, kita akan menikah segera”, tentu itu akan mengurangi galau hatinya. Juga mengurangi kemarahan kedua orang tuannya.
Riska masih menimbang – nimbang keinginannya untuk mengajak Sam menikah. Bagi kebanyakan lelaki bule, ditodong seorang wanita untuk menikah ibarat mendapatkan “sebuah bencana”. Sementara bagi wanita, menodong lelaki bule untuk menikahinya adalah tabu. Kini ia jengkel dengan kenyataan seperti itu. Siapa sih yang bikin aturan – aturan yang mengada – ada itu? Barangkali kalau Sam lelaki Indonesia masalahnya menjadi sederhana, ia akan menuntut pertanggung jawaban untuk menikahinya. Tapi sayangnya Sam warga negara Amerika. Cara berpikir, melihat, dan adat budayanya amat berbeda dengan dirinya, dengan keluarga besar Wiryoatmodjo.
Tiba – tiba cellphonenya berdering, dilihatnya id caller dari Sam. “ Hmm ...”
Are you all right, honey?
I’m fine Sam, but.. leave me alone …
Are you sure?”, tanya Sam.
Dimatikan telpon genggamnya. Riska menyadari menikah adalah panggilan hati, tidak bisa dipaksakan. Tapi dalam kondisi kepepet seperti ini apakah mesti harus menunggu panggilan hati? Minimal kita saling mencinta, apakah modal itu kurang cukup?
****
Sam yang kini berada di apartemennya tergolek lesu di atas sofa dengan segelas Jack Daniels dan asap rokok mengepul pada mulutnya. Kabar kehamilan Riska bagai kilat menyambar di siang bolong. Sikap keterkejutannya tadi di restoran membuat ia merasa tak enak kepada Riska. Ya sepertinya ia kehilangan sikap kedewasaannya dan berubah menjadi anak kecil, seperti anak kecil yang baru saja memecahkan guci kesayangan ibunya dan mengelak untuk mempertanggung jawabkannya.
Ada ketakutan yang memenuhi hatinya ketika terngiang kata - kata menikah. “ Buat apa menikah?”, tanya Sam dalam hati. Ketika ia memutuskan untuk menikah, hal itu ibarat ia memasuki sangkar burung untuk tidak bisa bebas lagi. Kebebasannya akan segera terampas dan digantikan rutinitas kewajiban sebagai seorang suami. Tapi kalau tidak menikah tentu itu menyakiti perasaan Riska. Ya, ia ingat ketika pertamakali bermain cinta dengan Riska, ketika ia terlena akan kemolekan tubuhnya, Riska masih sempat membisikkan ke telinganya agar berhati – hati jangan sampai hamil. Dan dilain waktu dalam suasana rileks Riska menceritakan tentang adat istiadat di tanah Jawa bahwa berhubungan sex sebelum menikah adalah dilarang agama, juga melanggar etika susila. Apalagi sampai hamil, itu merupakan aib bukan hanya diri sendiri melainkan seluruh keluarga. Si wanita bisa dicap sebagai orang tak bermoral. Biasanya mereka kemudian dinikahkan secepatnya agar jangan sampai kabar itu tersebar.
Ya, ia merasa kasihan kalau Riska sampai dikucilkan keluarganya, dicap wanita yang tidak bermoral oleh lingkungannya. Ia benar – benar jatuh cinta pada Riska, tapi siapkah ia menikah? Ia sering mendengar keluhan teman – temannya yang sudah menikah, cerita di majalah, atau melihat di tv tentang sebuah pernikahan. Ketika ia harus dipusingkan oleh kewajiban rutin berumah tangga seperti: menyediakan tempat tinggal yang layak, membesarkan anak, menghidupi istrinya kalau istrinya memilih tidak bekerja, menyediakan asuransi bagi keluarga, menyediakan biaya pendidikan bagi anaknya, dan beban – beban lainnya. Sejujurnya secara ekonomi ia belum bisa dibilang mapan. Gajinya sebagai perancang grafis pada sebuah perusahaan iklan cukuplah untuk hidup sendiri, membiayai hobi fotografi untuk proyek foto – foto gedung tuanya, membiayai aktivitas waktu luang, dengan sedikit kelebihan uang untuk ditabung. Tapi kalau ia menikah dengan satu anak, apalagi biaya hidup di Washington, DC yang tinggi, mana cukup gaji segitu buat hidup?
Sam yang asli Texas itu bertambah pusing, dituangnya lagi alkohol ke dalam gelasnya. Ia mencoba telepon Riska tapi tak diangkat. Diraihnya gelas dari meja dan meneguk isinya sekali habis, dirasakan panas alkohol membakar kerongkongannya. Ia termenung lama.
Kini Sam diliputi ketakutan – ketakutan akibat sebuah pernikahan. Kebebasannya akan segera terampas. Digantikan dengan kewajiban – kewajiban terhadap keluarga, yang diikat dan dilindungi negara. Dan ketika ia alpa akan kewajiban itu, tangan – tangan hukum akan menjeratnya. Sam makin pusing memikirkannya. Alkohol membenamkan dirinya dalam kepusingan yang hebat, ia tak sadarkan diri. 
***
Sudah seminggu mereka saling menjauh, tidak telepon maupun bertemu. Hari – hari Riska dilalui dengan gundah gulana. Ia belum memberitahukan kehamilannya pada kedua orang tuanya, ia takut, takut akan kenyataan buruk yang akan menimpanya. Ia juga belum meminta Sam untuk menikahinya, tabu. Malah terlintas niatan untuk menggugurkan kandungannya. Ia bingung, ia sudah bertanya – tanya klinik atau rumah sakit mana untuk menggugurkan kandungannya. 
“ Ya, sebentar lagi aku akan terbebas dari masalah ini. Sebentar lagi kehidupanku akan normal kembali. Menyelesaikan sekolah bisnisku, kembali ke Indonesia, bersikap wajar di depan papa mama, lalu menyibukkan diri dalam pekerjaan. Ya, bekerja di salah satu perusahaan asing mitra kerja papa atau di perusahaan milik kakak.”
Tiba – tiba Riska dikejutkan oleh suara ketokan pintu. Ia berjalan ogah – ogahan menuju pintu, mengintip dari lubang kaca. Dilihatnya muka Sam yang cembung pada lubang kaca itu. Hatinya berdegup keras, serasa darah berhenti mengalir di sekujur tubuhnya ia merasa lemas.
Dari balik pintu yang belum dibuka Sam berkata keras,“ Riska, Would you marry me?
Riska terkaget-kaget di balik pintu. Sejenak ia tak percaya dengan apa yang diucapkan Sam dari balik pintu,“ Oh Sam, are you serious …?”, kata Riska terbata – bata,” apakah aku tidak salah dengar?”
Setelah pintu dibuka Sam mengulangi kata-katanya sambil merebahkan lututnya ke lantai,“ Would you marry me?
Riska terharu,“ Tapi kenapa Sam?”
“ Ya, aku cinta berat sama kamu Riska. Jangan kuatir tentang kehamilanmu. Aku akan bertanggung jawab. Seminggu berpisah rasaku nggak karuan, kacau. Ayo kita segera menikah ..”
“ Ya, tapi sabar dulu Sam, ada aturannya, –  pertama kamu harus melamar dulu ke orang tuaku.”
“ Rumit banget!! .. Oke demi kamu dan jabang bayi yang ada di perutmu, aku akan melamar ke orang tuamu. Kita pergi ke Indonesia sekarang?”
“ Oh.. Sam, you are so ... kemplu amat sih, just call my father ...say you want to marry me. The rest ...  I ' ll take care of it.
“ Baik … baik sebelum telepon papamu aku ingin goyang-goyang denganmu …”
“ Oh Sam you … bad boy”

Monday, October 22, 2007

Cintakah Kau Padaku?

Cintakah Kau Padaku?
Seorang lelaki bertanya pada kekasihnya
Apakah engkau mencintai
dirimu sendiri
lebih dari cintamu padaku?

Kekasihnya menjawab,
Aku telah membunuh keakuanku
dan aku hidup untukmu.

Aku telah menghilang dari diriku
dan segala sifatku.
Aku ada hanya untuk kau.

Telah kulupakan semua pengetahuanku,
tapi dari pengenalanku akan dirimu
aku telah menjadi seorang yang berpengetahuan

Aku telah kehilangan seluruh kekuatanku,
namun dengan kekuatanmu
aku mampu.

Jika aku mencintai diriku
Aku mencintaimu.
Jika aku mencintaimu
Aku mencintai diriku.

 
Site Meter